Pagi tadi sebagai seorang “cantrik yang taat” saya ikut upacara memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tidak seperti upacara yang lain, hari ini pesertanya cukup banyak sampai meluber ke jalanan. Denger-denger gosip, mereka itu takut ditegur pimpinannya jika tidak ikut upacara Hardiknas. Lha wong kalangan pendidikan kok tidak upacara Hardiknas. Saru katanya.

Saya tidak tau dalam benak pikiran mereka. Apakah mereka ikut upacara benar-benar karena kesadaran, atau semata-mata dilandasi rasa takut pada pimpinannya. Bagi saya, melaksanakan sesuatu itu adalah kesadaran. Melaksanakan karena kemauan sendiri, bukan karena orang lain. Tapi mungkin bagi banyak orang ndak begitu pikirannya. Kalau ndak disuruh ya belum tentu mau. Lha disuruh saja kadang-kadang tidak melaksanakan..

Aneh. Orang-orang yang katanya harus digugu lan ditiru, jadi panutan dan teladan, memiliki sikap mental semacam itu. Kalau yang jadi panutan saja bermental semacam itu, lha gimana dengan anak didik mereka?

Kalau dulu Ki Hajar Dewantoro, mendidik bangsa dengan falsafah:

Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri Handayani

Ringkasnya, (para guru itu) jika didepan memberi teladan, jika ditengah ikut berkarya, jika dibelakang memberi dukungan.

Namun seperti biasa, hampir setiap slogan, falsafah, atau konsep kearifan apapun, hanya masuk telinga kanan keluar telinga kanan. Ndak nyantol blas, di dalam otak. Amis-amis lambe, hanya manis di mulut kata orang Jawa.

Saya jadi ingat logo Departemen Pendidikan, yang ada tulisan Tut Wuri Handayani. Saya ndak ngerti, mengapa hanya petikan kalimat terakhir saja yang diadopsi oleh Diknas. Saya juga ndak tau siapa dulu yang merancang logo itu. Apakah hanya sebagian falasah itu saja yang penting? Dua kalimat awal ditinggalkan, karena jika mau disadari, dua kalimat awal itu lebih berat makna dan konsekuensinya.

Ing ngarso sung tulodo. Menjadi teladan, berada didepan, kelihatan, dan ditonton orang banyak. Istilah modernnya INOVATOR.
Penjadi contoh teladan memang tidak mudah. Yang namanya contoh, idealnya ya tidak boleh salah. Kalau contohnya salah, yang dihasilkan ya lebih parah. Wah abot iki. Berat memang.

Ing madyo mangun karso. Menjadi kawan seiring dalam berkarya. Istilah modernnya DINAMISATOR.
Ingat, kawan seiring lho, bukan jadi mandor! Artinya ya saling belajar, saling membantu. Setara. Lha jaman sekarang ini apa ya mau terima duduk sejajar. Sopo siro sopo ingsun. Lha emange kowe sopo. Memangnya kamu ini siapa. Yang namanya guru itu ya duduk manis. Yang namanya cantrik itu ndeprok sendiko dawuh, duduk dibawah menerima perintah. Ndak diperintah ya diam saja.

Tut wuri handayani. Menjadi pendukung dalam berkarya. Memberi semangat saat tak berdaya. Tapi posisinya berada di belakang. Istilah modernnya MOTIVATOR.
Nah, kadang falsafah ini dimaknai dengan sempit. Duduk manis di belakang. Menjadi penonton yang baik. Yang ditonton (dididik) mau jumpalitan, mau sukses, mau dapat pekerjaan, ndak penting. Yang penting kewajiban sebagai suporter sudah dipenuhi.

Atau… jangan-jangan cuma saya yang mimpi terlalu jauh? Jangan-jangan justru mereka yang lebih “bisa memahami” visi departemen untuk Tut Wuri Handayani (saja) ?

Mas.. mas… bangun… upacara sudah selesai….

Eeh, saya terbangun sambil terkaget-kaget. Lapangan upacara sudah kosong melompong. Peserta sudah bubar semua. Ternnyata saya tertidur sambil mimpi saat upacara…

Tut Wuri Handayani, Barise Mburi Bubare Keri
(barisnya belakangan, pulangnya ketinggalan)


Setelah bertahun-tahun menjadi gelandangan gila sepur kluthuk, akhirnya di hari minggu kemarin, saya diterima di rumah dan keluarga baru. Pak Tjahjono, bapak yang energik dan unik ini mengajak saya untuk bergabung dengan Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Semarang . Bukan hal yang mendadak, karena sebenarnya sudah lama saya mendengar dan ingin masuk rumah ini. Ndilalah saja ada kesempatan untuk bertemu. Ndak enak rasanya bertahun-tahun menggelandang, gila sepur kluthuk sendirian. Biasanya kalau banyak orang gila berkumpul, terus dianggap waras-waras saja. Kalau tetep sendirian ya terus saja dianggap gila..

Di keluarga ini berkumpul orang-orang yang gila dengan segala tetek bengek sepur kluthuk. Apa saja yang berbau-bau kereta api pasti bikin mereka kedanen. Bicara soal gila, sebenarnya cukup lama saya gila dan punya beberapa keluarga gila. Beberapa tempo saya ngedan bersama keluarga SBI-info. Dan jauh sebelumnya sudah edan duluan dengan gerombolan linux. Untuk keluarga yang itu, akan saya ceritakan tersendiri, nanti kalau pas tidak kumat gilanya.

Biasanya sehari-hari telinga saya dipenuhi suara kicauan, karena kegilaan dengan burung di alam. Atau paling tidak ya suara gemeretak keyboard dan dengungan cpu fan. Nah, kemarin itu gantian telinga saya dipenuhi gemuruh lokomotif dan denting rel kereta. Bukan suara yang asing sebenarnya. Suara yang sudah cukup akrab sejak masa kecil, yang kini dicoba untuk dibangkitkan lagi.

Ngobrol di emplasemen Stasiun Poncol. Panas, sumuk, berisik. Tapi ya enjoy saja. Lha wong namanya juga orang gila. Selesai bagian yang serius-serius, diakhiri dengan trainwatching (istilah saya dewe). Kebetulan di Stasiun Poncol ini sebagai tempat tidurnya Simbah BB200 yang legendaris. Hampir 20 tahun lebih saya tidak pegang-pegang si ijo kuning ini. Kangen..

Ternyata di kalangan railfans ini ada juga yang mirip twitcher kalau di kalangan birdwatcher. Senin pagi saya dapat sms dari Mas Dedi, kepala keluarga IRPS Semarang.

“Mau hunting foto gak? Ada kereta istimewa mau liwat. Ini kesempatan jarang untuk melihatnya lewat jalur Semarang…”.

Weleh, twitching banget. Tapi ya ndak pa pa, namanya juga suka. Saya sendiri biasanya juga suka begitu kalau dapat info baru tentang burung.


Putu Wijaya, Mengasah Paku Jadi Jarum
Kompas, Minggu, 27/4/2008 | 23:57 WIB

Tahukah Anda, bagaimana proses yang dijalani Putu Wijaya hingga menjadi teaterawan, sutradara teater dan film dan penulis hebat seperti sekarang ini?

Katanya, dia terinspirasi oleh sebuah cerita China yang dibacanya semasa duduk di bangku SMP. Buku itu berkisah tentang percakapan antara seorang pemuda dan seorang tua yang mengasah paku menjadi jarum.

Alkisah, pada suatu hari pemuda yang sekolah di kedokteran itu bertemu dengan Pak Tua yang sedang mengasah paku. “Aku sedang mengasah paku menjadi jarum,” kata Pak Tua menjawab pertanyaan Si Pemuda, seperti ditirukan pimpinan Teater Mandiri itu dalam acara Dialog Budaya di Universitas Tidar Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (26/4).

“Semenjak itulah, sang pemuda belajar giat, segiat Pak Tua yang mengasah paku menjadi jarum. Beberapa tahun kemudian, pemuda itupun menjadi dokter,” urai Putu yang menyampaikan materi dialognya dengan cara monolog.

Sebagai ungkapan terimakasih, dokter muda itu pun membawa segepok uang untuk Pak Tua yang menurutnya telah turut andil menyokong semangat belajarnya hingga ia mencapai gelar dokter.

Alangkah kagetnya si pemuda tatkala Pak Tua tidak merasa pernah menyemangati si pemuda dengan falsafah “mengasah paku menjadi jarum.” Dahsyatnya lagi, ternyata Pak Tua juga tak mau menerima uang dari si pemuda,” sambung Putu.

Nah, menurut Putu, guru yang baik adalah guru yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah guru. “Guru semacam inilah yang dibutuhkan Republik ini,” ujar Putu Wijaya, menutup pembicaraannya.


Freeman. Dari kata inilah muncul istilah preman. Istilah preman selalu terkait dengan konotasi negatif. Penjahat, brutal, kriminal. Namun freeman bukanlah preman.

Menurut Wiki, freeman adalah “one who is not a serf or slave“. Seseorang yang bukan menjadi pelayan atau budak. Seseorang yang menjadi tuan atas dirinya sendiri. Seseorang yang merdeka.

Suatu situasi atau status dimana setiap orang pasti mengidamkannya. Termasuk saya. Situasi dimana seseorang bebas mengekpresikan dirinya. Bebas berkarya. Bebas beraktualisasi diri. Bebas menentukan langkah nasib kehidupannya. Sounds good….

Namun, apa itu bebas? Apa itu kebebasan? Apakah ada kebebasan absolut bagi seorang manusia?

Bagi saya yang bermimpi menjadi freeman, kebebasan adalah tanggungjawab. Kebebasan bukanlah sebuah hak. Kalau saya sudah berteriak, atau membubuhkan stempel bebas pada jidat saya, maka semenjak itulah rantai tanggungjawab membelit leher saya. Bebas, tapi tidak bebas.

Jika saya sudah berani menyatakan bebas untuk berekspresi, maka saya harus mampu menunjukkan karya saya. Karya yang bermanfaat bagi semua orang. Bukan karya yang hanya memuaskan hasrat diri sendiri.
Jika saya sudah berani gagah beraktualisasi diri, maka saya harus mampu merubah nasib. Nasib untuk orang banyak, bukan hanya nasib diri sendiri.

Fly like a bird. Burung bebas terbang ke langit, kemana saja dengan sayap yang dianugerahi oleh Tuhan. Namun burung tak pernah lupa untuk kembali ke darat. Tak lupa untuk menyebar biji-bijian sembari mengisi perutnya. Tak lupa untuk mematuki serangga-serangga hama di sawah ladang.

Flow like a water. Air dianugerahi keleluasaan bentuk, untuk mengalir kesegala arah. Mengisi kesegala celah, ceruk, retakan. Menguap, melayang di atmosfer paling tinggi. Dingin membeku di bumi paling ujung. Namun air tak pernah lupa untuk memuaskan dahaga mahluk lain. Tak pernah lupa untuk menumbuhkan sekeping biji ditengah gersang padang pasir.

Saya belumlah menjadi seorang freeman. Masih menjadi seorang pelayan atau bahkan budak untuk banyak orang. Namun setidaknya saya selalu berharap dan berdoa, sendainya nasib saya selalu menjadi budak, setidaknya bukan sebagai budak yang sombong dan lupa daratan…


Pengetahuan untuk dunia. Knowledge Belong The World.
Adalah suatu kalimat yang diucapkan oleh seorang teman baru saya. Terlontar pada obrolan ngalor-ngidul di suatu malam. Meskipun sebenarnya secara konsep bukanlah merupakan hal yang baru, namun kalimat itu kembali menghentak nurani.

Pada hakikatnya pengetahuan atau knowledge merupakan suatu anugerah bagi manusia. Manusia dianugerahi otak, akal dan pikiran. Dengan modal yang dipinjami oleh Tuhan inilah manusia mengembangkan pengetahuan. Praktis dalam hal ini Tuhan ikut memiliki “saham” dalam pengetahuan, meski sebenarnya pengetahuan itu sendiri pada hakikatnya milik Tuhan.

Lalu apakah masih pantas bagi sesosok manusia untuk meng klaim bahwa suatu pengetahuan adalah milik dirinya sendiri? Milik sekelompok orang? Dengan absolut membubuhkan cap COPYRIGHT atas pengetahuan itu? Iya, memang, adalah pantas bagi sesorang untuk mendapat “imbalan” atas jerih payahnya dalam menggali pengetahuan. Mungkin pantas baginya untuk menarik beberapa keping uang sebagai biaya atas transfer pengetahuan yang digalinya.

Tapi, ingatkah manusia, berapa lembar uang yang telah dia bayar kepada Tuhan, untuk modal dasar yang telah diberikanNya? Berapa harga otak yang seharusnya kita bayar? Kalau kita mau adil, tentu kita harus berbagi keuntungan dari “perdagangan” pengetahuan yang kita dapatkan kepada pemilik modal, yaitu Tuhan.

Namun, Tuhan Maha Kaya. Amat sangat kaya. Tuhan tidak akan pernah miskin meskipun kita ngemplang tidak berbagi keuntungan denganNya. Tuhan Amat Arif, membiarkan kita kaya dengan modal yang diberikannya.

Lalu balasan apakah yang pantas dan selayaknya kita lakukan, untuk membayar Tuhan Yang Maha Kaya? Mudah saja. Berbagilah pengetahuan yang kita dapatkan secara gratis dari Tuhan. Bagikanlah pengetahuan kita kepada semua orang, dengan harga sangat murah atau bahkan gratis. Seperti murahnya dan gratisnya Tuhan memberi modal pengetahuan kepada kita.